Perkembangan Menulis dari Tradisional hingga Kecerdasan Buatan
Menulis adalah salah satu keterampilan paling lama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sejak manusia mulai menggambar di dinding gua, menulis telah menjadi alat untuk menyimpan pengalaman, menyampaikan gagasan, serta memperluas wawasan pengetahuan. Seiring berkembangnya peradaban, cara menulis pun berubah: dari ukiran batu, lontar, kertas, hingga saat ini beralih ke layar digital.
Namun, belakangan ini muncul “pemain baru” dalam dunia kepenulisan: kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Kehadirannya mengubah cara banyak orang menulis—baik akademisi, peneliti, mahasiswa, hingga penulis lepas. AI mampu menghasilkan tulisan panjang hanya dalam hitungan detik. Bagi sebagian orang, ini sebuah keajaiban; tetapi bagi yang lain, justru sebuah ancaman.
Pertanyaan pentingnya: Apakah dengan adanya AI, keterampilan menulis manusia akan semakin berkembang, atau justru meredup?
Menulis Tradisional: Menyusun Kata dengan Usaha dan Pikiran
Sebelum AI masuk ke ruang kerja kita, menulis dilakukan secara tradisional. Artinya, menulis bertumpu pada kemampuan dasar manusia: membaca, mengamati, berpikir kritis, merenung, menyusun ide, dan menuangkannya ke dalam kata-kata.
Menulis tradisional bukan sekadar aktivitas teknis, tetapi proses intelektual dan emosional. Ada usaha mencari data, memilah informasi, menghubungkannya dengan pengalaman pribadi, lalu merangkainya dalam alur logis dan menyentuh hati pembaca.
Banyak penulis senior meyakini bahwa melalui proses inilah keterampilan berpikir terbentuk. Menulis melatih kesabaran, kedisiplinan, dan kepekaan rasa. Setiap kata lahir dari jerih payah, bukan sekadar hasil “klik sekali jadi”.
Tidak mengherankan, penulis yang menempuh jalur ini sering kali memiliki gaya khas—ciri unik yang tidak bisa ditiru orang lain. Mereka tidak sekadar menghasilkan tulisan, melainkan membangun suara dalam dunia literasi.
AI Masuk Dunia Kepenulisan
Sejak tahun 2020-an, teknologi kecerdasan buatan yang berbasis language model mulai populer. Nama-nama seperti ChatGPT, Gemini, atau aplikasi lainnya menjadi perbincangan hangat. Hanya dengan mengetikkan instruksi atau prompt, dalam hitungan detik AI dapat menghasilkan tulisan yang rapi, sistematis, bahkan meyakinkan.
Bagi akademisi, AI sangat membantu. Misalnya, seorang dosen yang harus menyiapkan makalah dan laporan penelitian dalam waktu terbatas, bisa memanfaatkan AI untuk menyusun kerangka, mencari referensi, atau bahkan menyarankan kalimat alternatif. Penulis lepas yang kebanjiran pesanan artikel pun terbantu untuk mempercepat pekerjaan.
Data dari McKinsey (2023) menunjukkan, penggunaan AI dapat meningkatkan produktivitas penulisan hingga 40% lebih cepat dibandingkan cara manual. Angka ini tentu menggiurkan, terutama di era serba cepat.
Namun, di balik segala kemudahan itu, terselip berbagai risiko yang tidak bisa diabaikan.
Manfaat AI dalam Menulis
Penggunaan AI dalam menulis tentu membawa sejumlah keuntungan:
Menghemat waktu
Artikel sepanjang 2.000 kata yang biasanya memakan waktu beberapa hari, kini bisa dibuat dalam hitungan menit.Membantu menemukan ide
Bagi penulis yang sering mengalami writer’s block, AI bisa menjadi sparring partner untuk memunculkan gagasan baru.Meningkatkan variasi bahasa
AI mampu menawarkan sinonim, gaya penulisan berbeda, bahkan struktur kalimat yang lebih baik.Efisiensi kerja profesional
Peneliti atau penulis bisa lebih cepat menyiapkan draf awal, lalu fokus pada analisis yang lebih mendalam.
Dengan kata lain, AI berfungsi seperti “asisten virtual” yang setia bekerja tanpa mengenal lelah.
Risiko AI dalam Menulis
Meski menawarkan banyak kemudahan, AI juga menyimpan sisi gelap. Salah satunya adalah lahirnya kepakaran semu. Banyak orang yang tadinya jarang menulis, tiba-tiba tampak “hebat” karena mampu menghasilkan tulisan panjang. Padahal, bukan keterampilan menulis organik yang mereka miliki, melainkan keterampilan memberi instruksi ke mesin. Di sinilah letak bahayanya. Menulis dengan AI bisa membuat orang malas berpikir kritis. Mereka lebih suka hasil instan ketimbang berproses. Ketika semua serba cepat, kebiasaan membaca buku pun mulai ditinggalkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Stanford University (2023) menunjukkan bahwa penggunaan teknologi otomatis tanpa diimbangi aktivitas berpikir mandiri berpotensi menurunkan daya kritis dan memengaruhi fungsi otak jangka panjang. Fenomena ini disebut beberapa ahli sebagai “brain rot” atau penurunan ketajaman berpikir.
Lebih jauh lagi, tulisan hasil AI sering kali terasa “kosong” secara emosional. Ia bisa rapi, sistematis, bahkan logis, tetapi miskin jiwa. Tidak ada pengalaman pribadi, tidak ada air mata, tidak ada getaran batin yang menghubungkan penulis dan pembacanya.
Dilema Etika: Plagiarisme atau Bukan?
Selain soal kualitas, muncul pula perdebatan etis. Apakah tulisan yang dihasilkan AI dianggap plagiat? Beberapa universitas dunia kini sedang merumuskan kebijakan terkait hal ini. Misalnya, University of Sydney (2023) menyatakan bahwa penggunaan AI dalam karya akademik hanya diperbolehkan jika disebutkan secara eksplisit dalam catatan. Jika tidak, maka bisa dianggap pelanggaran integritas akademik.
Di Indonesia, diskusi ini pun mulai mengemuka. Para akademisi dan penulis ditantang untuk menempatkan AI secara proporsional: sebagai alat bantu, bukan sebagai “pengganti otak”.
Cara Menggunakan AI dalam Menulis
Lalu bagaimana kita menyikapi fenomena ini? Apakah harus menolak AI sama sekali, atau justru merangkulnya?
Menurut saya, jawabannya ada pada sikap seimbang. AI bisa digunakan, tetapi tidak boleh menggantikan seluruh proses menulis. Berikut beberapa langkah bijak:
Perbanyak membaca
Jangan malas membaca buku, artikel, atau referensi ilmiah. Membaca adalah bahan bakar utama menulis.Kuasai keterampilan dasar menulis
Latih diri mencari ide, membuat kerangka, dan mengembangkan tulisan secara manual.Gunakan AI sebagai pendukung, bukan penentu
Biarkan AI membantu memperkaya informasi atau memberi alternatif kalimat, tetapi keputusan akhir tetap ada di tangan penulis.Kritis terhadap hasil AI
Jangan langsung percaya. Lakukan verifikasi, edit ulang, dan tambahkan pengalaman pribadi.
Dengan cara ini, AI menjadi “teman kerja”, bukan “tuan” yang menguasai kita.
Perbandingan Menulis Konvensional vs dengan AI
| Aspek | Menulis Konvensional | Menulis dengan AI |
|——-|———————-|——————-|
| Waktu yang dibutuhkan | Lebih lama, perlu membaca, berpikir, dan menyusun gagasan. | Sangat cepat, bisa menghasilkan ribuan kata dalam hitungan menit. |
| Kedalaman berpikir | Tinggi, melibatkan analisis kritis dan refleksi pribadi. | Rendah, hanya meramu pola bahasa tanpa benar-benar “berpikir”. |
| Kekuatan emosional | Kuat, karena lahir dari pengalaman dan perasaan penulis. | Lemah, tulisan cenderung datar dan kurang menyentuh. |
| Kreativitas pribadi | Tinggi, setiap penulis punya gaya khas yang unik. | Rendah, hasil cenderung seragam dan kurang personal. |
| Risiko plagiarisme | Rendah, ide lahir dari penulis sendiri. | Lebih tinggi, bisa menimbulkan keserupaan konten atau isu etika akademik. |
| Produktivitas | Sedang, jumlah tulisan terbatas karena proses panjang. | Sangat tinggi, mampu menghasilkan banyak tulisan dalam waktu singkat. |
Penggunaan AI untuk Penulis Pemula dan Senior
Posisi pemanfaatan AI pun berbeda antara penulis pemula dan penulis senior.
Bagi Penulis Pemula
Sebaiknya tetap mengutamakan proses menulis konvensional. Rasakan bagaimana sulitnya merangkai kata, bagaimana mencari ide, bagaimana jatuh bangun melawan kebuntuan. Itu semua adalah bagian dari pembentukan karakter menulis. Jika sejak awal hanya bergantung pada AI, dikhawatirkan keterampilan dasar ini tidak pernah terbentuk.
Bagi Penulis Senior
Bagi mereka yang sudah terbiasa menulis, AI bisa menjadi “penolong waktu”. Dengan pengalaman panjang, penulis senior biasanya sudah punya voice yang jelas. AI hanya digunakan untuk mempercepat pekerjaan, bukan menggantikan proses kreatif. Misalnya, ketika dikejar deadline menulis laporan atau buku, AI bisa membantu menyusun draf awal yang kemudian dipoles dengan sentuhan pribadi.
Jangan Kalah oleh Robot
Pada akhirnya, mari kita ingat pesan penting: jangan kalah oleh robot. AI memang canggih, tetapi ia tetap sebuah alat. Ia tidak punya perasaan, tidak punya pengalaman hidup, tidak punya nilai-nilai yang hanya dimiliki manusia.
Menulis bukan hanya soal menyusun kata-kata, melainkan juga soal menghadirkan jiwa di dalam tulisan. Jiwa itulah yang membuat pembaca merasa dekat, merasa tersentuh, bahkan merasa tercerahkan. AI bisa menjadi sahabat, tetapi jangan biarkan ia menjadi penguasa. Tugas kita adalah menggunakannya secara cerdas, tanpa kehilangan jati diri sebagai penulis.
Penutup
Kecerdasan buatan hadir sebagai keniscayaan zaman. Ia membuka peluang baru sekaligus menghadirkan tantangan besar. Bagi penulis, AI dapat membantu meningkatkan efektivitas dan produktivitas. Namun, jangan sampai kita kehilangan kemampuan berpikir kritis, kepekaan emosional, dan keterampilan dasar menulis.
Mari gunakan AI dengan bijak: sebagai alat bantu, bukan pengganti diri kita. Jangan biarkan kecerdasan buatan menumpulkan kecerdasan asli kita sebagai manusia. Karena pada akhirnya, tulisan terbaik tetaplah lahir dari hati, pikiran, dan pengalaman nyata seorang penulis.

