Perang Teknologi AI: Blokir Ekspor Chip Nvidia ke Tiongkok Memperdalam Kekuatan Global
Perang teknologi antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memanas, khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (AI). Salah satu langkah terbaru yang diambil oleh pemerintah AS adalah melarang penjualan chip AI canggih dari perusahaan besar seperti Nvidia ke Tiongkok. Langkah ini menjadi bagian dari strategi yang lebih luas untuk menjaga keunggulan teknologi negara tersebut.
Pembatasan ekspor ini dilakukan setelah Tiongkok merespons dengan tindakan balasan yang sangat ketat. Negara ini mewajibkan semua perusahaan teknologi di dalam negeri untuk beralih menggunakan komponen dalam negeri, termasuk chip AI. Seluruh proyek pusat data yang didanai oleh pemerintah Tiongkok harus berasal dari sumber lokal. Hal ini menunjukkan upaya Tiongkok untuk meningkatkan kemandirian teknologinya.
Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengonfirmasi bahwa pemerintah AS telah mengambil keputusan untuk tidak menjual chip Blackwell dan B30A terbaru dari Nvidia ke Tiongkok. Menurutnya, saat ini, pihaknya tidak ingin chip tersebut masuk ke pasar Tiongkok. Keputusan ini diambil sebagai bagian dari upaya menjaga keunggulan teknologi AS dalam bidang AI.
Menteri Keuangan Amerika Serikat, Scott Bessent, menyebut chip Blackwell sebagai salah satu inovasi terpenting dari negara tersebut. Ia menyatakan bahwa penjualan chip tersebut ke Tiongkok hanya akan dipertimbangkan kembali setelah masa berlaku chip tersebut habis, yaitu dalam jangka 12 hingga 24 bulan.
Dampak dari pemblokiran ini sangat signifikan. Dalam tiga tahun terakhir, Nvidia berhasil merebut 95 persen pangsa pasar di pusat data AI Tiongkok. Namun, dengan larangan ini, pangsa pasar tersebut mulai merosot secara drastis.
CEO Nvidia, Jensen Huang, mengharapkan perusahaan dapat kembali mengirimkan chip AI ke Tiongkok. Namun, ia belum bisa memastikan kapan rencana ini akan direalisasikan. Meskipun demikian, Nvidia sedang melakukan desain ulang terhadap chip B30A, yang kemungkinan akan memenuhi syarat ekspor dari pemerintah AS di masa depan.
Tiongkok langsung merespons dengan perintah keras yang mewajibkan seluruh proyek pusat data baru yang dibiayai pemerintah menggunakan chip AI dalam negeri. Arahan ini juga mencakup proyek yang baru selesai kurang dari 30 persen. Langkah ini merupakan bagian dari strategi Tiongkok untuk mencapai kemandirian teknologi dalam industri semikonduktor.
Meski langkah ini dianggap menguntungkan produsen dalam negeri seperti Huawei, Cambricon, dan MetaX, para analis mengingatkan bahwa produk chip AI Tiongkok masih tertinggal dibandingkan dengan produk Nvidia, terutama dalam hal performa dan dukungan ekosistem perangkat lunak. Kesenjangan ini berpotensi menghambat laju pengembangan AI di Tiongkok.
Konflik ini semakin memperlebar jurang pemisah dalam dunia teknologi AI global. Amerika Serikat berusaha melindungi keamanan nasional dan dominasi teknologinya, sementara Tiongkok berjuang untuk mencapai kemandirian teknologi dan memperkuat ekosistem semikonduktor dalam negeri.
Meskipun raksasa teknologi seperti Microsoft dan Meta terus membangun pusat data AI terbesar mereka menggunakan chip tercanggih dari Nvidia, Tiongkok berisiko tertinggal dalam kapasitas komputasi. Meski begitu, ada peningkatan dalam produksi chip lokal di Tiongkok.
Lebih lanjut, perang chip ini tidak hanya merugikan perusahaan AS karena kehilangan akses ke pasar terbesar di dunia, tetapi juga menantang Tiongkok untuk mengorbankan kecepatan kemajuan demi otonomi teknologi. Ini menunjukkan bahwa konflik teknologi antara dua negara besar ini akan terus berlangsung dalam waktu yang lama.

